Stop Bullying: Berkaca Dari Pengalaman Pribadi
Kali ini, gara-gara saya baru stalking instagram @hotvocals dan melihat banyaknya video tentang spread love yang sangat menginsprirasi, saya jadi kepikiran untuk mengangkat isu yang lumayan berat di blog ini hehehe. We’ll see… Dari sekian banyak halangan dalam membuat dunia ini hidup dalam damai salah satunya adalah sikap bullying. Diakui atau tidak, bullying sebenarnya menurut saya memberi kontribusi paling besar dalam hal rusaknya kehidupan seseorang. Faktanya, It’s too sad di era dimana banyak hal yang harus lebih dikhawatirkan, kita masih harus fight tentang masalah satu ini.
Bullying atau gangguan, entah itu dalam bentuk
apapun (verbal, fisik, langsung maupun tidak langsung), efeknya tetap sama dan
akan terbawa seumur hidup. Mungkin bagi mereka yang tidak pernah mengalami
bullying dalam hidupnya, rusaknya kehidupan seseorang karena bullying akan
dianggap sepele, remeh, dan berlebihan. Istilah anak jaman sekarang… alay. Tapi
bagi mereka yang pernah mengalami, sekecil apapun kadarnya, dijamin mengerti
akan betapa besar dan seriusnya dampak yang ditimbulkan karena hal semacam itu.
Orang-orang yang berhasil keluar dari bullying, saya menyebutnya keberuntungan.
Sangat beruntung karena berhasil lepas dari bullying dan dapat menata hidup
kembali. Beruntung karena nggak berpikir untuk mati.
Para korban bullying, tanpa terkecuali, saya jamin,
jauh di dalam lubuk hatinya pasti iri pada mereka yang memiliki sikap berani. Bukan
berani dalam hal fisik, tapi berani dalam mental. Kebanyakan korban bullying
dihantui ketakutan untuk bisa melangkah, membenahi mentalnya. Sayangnya, meskipun
hidupnya sudah terbenahi pun, meski hal-hal baik sudah datang mengisi hidup
mereka, bahkan seandainya tangan mereka yang ternyata menggenggam dunia, bagi siapapun
yang pernah merasakan dan mendapatkan perlakuan bullying, sampai kapanpun,
perasaan takut, minder dan malu itu selalu ada dan sulit dihilangkan. Gampangnya,
sikap itu sudah terpatri di alam bawah sadar.
And for answer that, nggak perlu kok psikolog
berkemampuan mutakhir dihadirkan dalam blog saya ^^ cukup dari pengalaman
pribadi, saya rasa itu sudah mewakili.
Yap, saya akui atau enggak pun, itu nyatanya sudah
menjadi bagian hidup saya. Saya mengalami, saya merasakan. Mengalami bullying
selama hampir 6 tahun (literally, may be) di umur mulai dari 6 tahun sampai 11
tahun, dengan hanya memiliki “single
parent” itu sama sekali nggak mudah. And I really struggling to deal with
that.
Sebelumnya, jika ada yang bertanya, kenapa 6 tahun,
kenapa single parent, jawabannya begini:
6 tahun itu adalah lama masa saya sekolah dasar, dan
single parent itu karena meskipun sekarang kedua orangtua masih bersama (tidak
cerai atau apa), tapi dulu saat saya TK sampai kelas 3 SD kalau nggak salah, ibu
saya bekerja ke luar negeri untuk membantu perekonomian keluarga dan dirumah
hanya ada bapak dan beberapa saudara yang membantu menjaga. Saya nggak tau
apakah keadaan itu yang menjadikan saya tumbuh menjadi seseorang yang memiliki
kepribadian “aneh”, menjadi seseorang yang haus perhatian dan sangat sangat tidak
dewasa, ataukah karena suatu hal lainnya. Yang jelas, bullying saya dimulai
dari sana, menurut mereka yang membully saya, itulah alasan semua perlakuan
mereka ke saya: karena saya menjengkelkan, menyebalkan, dan sangat tidak
menyenangkan untuk dijadikan seorang teman.
Awalnya saya nggak sadar.
Satu kelas saya hanya ada 6 anak perempuan dari 18
keseluruhan siswa. Mau nggak mau, kami akan selalu bersama, kan? Tapi enggak. I
feel betrayed. Saya akui saya memang ingin menjadi pusat perhatian. Saya yang membaca
paling keras, paling ingin menunjukkan saya ini pintar, paling merasa benar, and
I really feel sorry for that. Baru saat di kelas 2 dan seterusnya, saya
menyadari satu hal: teman-teman perempuan membenci saya, beberapa teman
laki-laki juga membenci saya, dan bahkan ada satu guru yang sepertinya membenci
saya juga. Dan hari-hari saya setelah itu, saya ingat baik-baik semua
kejadiannya.
Saya ingat suatu hari di kelas 2, saya lupa nggak
bawa PR, saya juga nggak mendapat contekan satupun, dan akhirnya saya
berpura-pura sakit sambil menangis. Mungkin karena jengkel dengan saya, sang ibu
guru berkata dengan ketusnya,
“kalau sakit ya
pulang! Memangnya disini saya bisa ngobati?”
Dan saya pulang. Tapi entah kenapa, sejak hari
itu, saya membenci guru itu. Saya nggak pernah suka diajar olehnya, bahkan
menyapanya pun saya enggan. Saya masih ingat caranya menatap saya. Bukan jenis
tatapan yang patut diberikan seorang pendidik.
Dari teman-teman lebih parah lagi. Saya ingat suatu ketika
kami harus membentuk kelompok. Yang terjadi adalah saya tidak mendapat satu
pun. Mirisnya, seperti yang saya bilang di awal, perasaan diabaikan itu sudah
terpatri di otak dan nggak gampang dilepas. Jadi, di saat saya sudah duduk di
kampus pun, dengan belasan orang yang sangat patut disebut lebih dari sahabat, perasaan
bahwa “tidak-akan-ada-orang-yang-mau-berkelompok-dengan-saya”
masih saja ada.
Beberapa teman laki-laki juga ikutan mengejek dan
mengolok. Saat saya mengerjakan di depan, saat menjawab, saat mengajukan
pertanyaan. Dan sampai sekarang pun, rasanya sangat nggak nyaman jika saya
harus menjadi pusat tatapan di kelas (entah itu presentasi, bertanya,
menjawab), rasanya seolah saya mendengar tawa jahat mereka di belakang saya,
padahal sebenarnya enggak.
Masih di Sekolah Dasar, saat pelajaran olahraga, di
saat yang lain bermain voli, saya hanya duduk melihat. Dan jika para anak
perempuan juga duduk melihat, mereka berlima duduk berdekatan, dan saya menjauh
di sisi lainnya. Akibatnya, apalagi? You feel like not anyone wanna take a seat
with you. Everywhere. Everytime.
Saya masih ingat juga bagaimana mereka menertawakan
saya yang menyuruh mereka diam saat ada penjelasan pelajaran komputer, dan
selepas kelas, mereka jadi mengulang-ngulang kata “diam” dengan tertawa-tawa.
It taught me, bahwa saya nggak seharusnya mencampuri urusan orang lain, dan
saya nggak seharusnya menjadi seorang yang seperti itu. singkatnya, force me to
keep silent. Meskipun pada faktanya, saya pernah menjadi ketua kelas mereka,
saya pernah menjadi pemimpin paduan suara mereka, saya pernah menjadi apa yang
mereka sebut juara kelas, tapi ternyata hal-hal itu nggak cukup untuk
menjadikan saya seorang teman.
Saat jam istirahat, itu adalah 30 menit paling
menyiksa. Saya sendiri. And everybody in that shit school knew that!
Tapi apa yang dilakukan? Nothing. Karena memang
bullying tidak bisa dicegah, sekeras apapun orang luar mencegah. Yang bisa
menghentikan hanya pelaku dan korban. Nggak ada yang lain.
Nggak ada teman sekelas dalam 30 menit like a hell
itu. Saya jajan sendiri, saya kesana kemari sendiri. Saya ingat suatu kali saya
pernah belajar berjalan di atas bambu sendiri, dan tiba-tiba mbak Linda (salah
satu kakak kelas) menghampiri saya, memegang tangan saya, dan menuntun saya
bolak-balik dari ujung bambu ke ujung lain. Setelah itu, jika ada yang tanya
perasaan saya, rasanya saya cukup bahagia. Ternyata masih ada yang mau
menghampiri saya. Pelajaran apa yang bisa diambil dari ini? bahwa sekeras
apapun seseorang mendapat perlakuan bullying, jika ada satu orang saja yang
menghampiri dan menggenggam tangannya, believe me, itu merupakan bantuan yang
sangat besar.
Dan puncaknya, suatu hari saya pulang dengan
menangis. Saya menangis seharian dan minta pindah sekolah. Saya nggak mengatakan
alasannya, tapi yang saya syukuri, dan mungkin karena melihat saya tidak akan
berhenti menangis, bapak mengiyakan. Besok paginya, saya datang ke sekolah, masih
bergabung dengan yang lain. Saat saya mengatakan akan pindah, tau apa yang
mereka katakana? Mereka… yang menjadi alasan kepindahan saya, malah berkata
kenapa pindah, jangan pindah, dan sebagainya. Dan dengan bodohnya saya bahagia
mendengarnya. Saya merasa saya mendapat perhatian dari mereka. Kasih sayang
teman. Tapi nyatanya? Bullshitttt!!!!!
Saya baru merasakan ‘pertemanan’ (itupun ternyata
pertemanan palsu) saat sudah di kelas 6, saat mendekati ujian nasional wkwkwkwk.
Kalau inget ini, saya sadar betapa gobloknya saya.
Dan intinya… banyak hal yang saya sesali.
Saya nyesel kenapa saya begitu semangatnya mengundang
mereka di pesta ulang tahun ke-7 saya. Saya kira ini bisa menjadikan saya
seorang teman. Tapi begitu saya lihat foto saat itu, di usia saya sekarang,
saya baru tau betapa FAKE nya mereka.
Saya nyesel kenapa waktu itu saya masih berharap
diajak berangkat bareng pas kami harus sepedahan ke rumah bu guru bahasa
inggris untuk les tambahan yang ada di dekat alun-alun kota. Hal paling
memalukan saat itu adalah saya berangkat lebih pagi dari jam biasanya, saya ke
rumah W untuk mengajaknya berangkat bersama, dan tau apa yang W bilang? dia nggak
bisa les. Saya bilang dia harus masuk dulu kerumah, termasuk sepedanya. She did
it. Tapi tau apa yang terjadi berikutnya di rumah bu emi sewaktu saya sudah
sepedahan sendiri? Dia sudah tiba di sana, mereka sudah duduk rapi berjejer.
Very professional hahaha.
Saya nyesel kenapa saat pimpinan geng mereka, si NV,
memberikan nomer hape baru milik kakaknya ke teman-teman sekelas, dan saya
mencatatnya, saya begitu happy-nya sampai menelepon dia dan pura-pura bertanya
tentang PR. Saya masih inget nada bicaranya.
Tapi, tau kenapa saya bisa survive selama 6 tahun
itu?
Karena ternyata ada beberapa guru disana yang
menyayangi saya seperti layaknya orangtua yang melindungi anaknya. Saya inget Pak
Sumadi pernah membentak V karena menertawakan pertanyaan saya tentang arti
taawudz. Masalahnya, Pak Sumadi nggak asal bentak. Itu terjadi karena V
ternyata bilang bahwa saya goblok banget nggak ngerti arti taawudz yang menurut
dia artinya itu sama dengan diawur. Yasalaaam wkwkwkwk. Saya juga inget, beberapa
guru perempuan sering menyuruh saya beli sayur di warung budhe saya pas jam
istirahat. It really help me, to avoid them.
Dan untungnya… dijalani seperti itu, SD cepat
berakhir. Bagi yang lain, mungkin itu Cuma berupa kelulusan, tapi bagi saya,
itu seperti oksigen. Itu memberi saya nafas, memberi saya harapan, perubahan hidup.
Saya memilih SMP yang berbeda dari mereka semua. Saya membunuh perasaan saya
yang masih ingin satu SMP dengan mereka, membunuh pemikiran bahwa mereka masih teman
saya. actually, mereka bukan teman, tapi monster. Dan saya akui saya ingin
melupakan semuanya. SMP adalah tempat dimana saya bisa memulai hidup baru dan
menghapus bayang-bayang diri saya yang lama, dan saya nggak akan membiarkan
satu dari mereka mengikuti saya kesana. Alhamdulillahnya, mereka semua
ngangkrak di SMP yang berbeda.
Menguak kembali ke masa-masa itu sama sekali nggak mudah.
Saya sudah deal dengan semuanya. Tapi ternyata saya tipe orang yang sulit
memaafkan. Saya nggak habis pikir, di usia dewasa kami seperti ini, dimana
seharusnya sudah saling merenung, bisa-bisanya V menyapa saya seolah saya kawan
lama, ngajak saya ngobrol ini-itu, dan bahkan ngajak saya ikut reuni? Yasalam
otaknya (-_-)
Well, yang bisa saya sampaikan Cuma satu.
Sebagai seseorang yang pernah mengalami bullying,
saya sangat sangat berharap bisa membagi kisah ini suatu hari nanti, ke lebih
banyak orang, lebih banyak tempat, untuk membuka lebih banyak kehidupan baru.
Menjadi korban bullying itu berat. Kepribadian bisa
rusak, cara pandang bisa kacau.
begitu hebatnya dampak bullying. just read! |
Dan kalau ada yang tanya, “kenapa tidak melawan?”,
jawabannya sederhana.
Jika komputer yang terserang virus, apa bisa
komputernya membersihkan diri sendiri? Tentu harus ada program yang
membersihkannya. Dan program antivirus bagi para korban bullying bukan hal
mahal dan merepotkan, melainkan hanya brangkulan dan dukungan, dari orang
terdekat, dari orang yang lebih bisa melindungi.
Just stop bullying! Caranya?
Sebenarnya, jika menyadari, setiap orang secara
tidak langsung pernah melakukan bullying. Hanya saja kadarnya yang
berbeda-beda. Contoh kecil saja, sewaktu dulu kita bersekolah, saat ada salah
satu teman yang menjawab salah pertanyaan sang guru, atau ada teman yang
melakukan kesalahan apapun, pasti secara refleks kita tertawa. Tertawa karena
merasa mereka “bodoh” dan “konyol”. Sebenarnya itu termasuk bullying, menurut
saya. Hal seperti itu, jika terjadi terus-menerus di dalam hidup seseorang,
ditertawakan selalu, akan menimbulkan dampak cedera kepercayaan diri. Hasilnya
apalagi? Banyak murid Indonesia yang malu bertanya, malu mengacungkan tangan,
malu maju ke depan. Itu hanya efek dari “tertawa”. Lantas bagaimana efek sikap
yang lainnya?
Padahal jika kita yang ada di posisi itu, kita juga
tidak akan mau diperlakukan seperti itu. Maka mulailah dari hal kecil. Mulai
dari diri sendiri. Jangan cepat menjudge orang, jangan mudah membenci orang,
jangan mudah menilai orang. hidup sebaik-baiknya dan selayak-layaknya sikap
seorang manusia terhadap sesama manusia.
“The less you respond about negativity, the peacefull
your life will become”
Komentar
Posting Komentar