Review Film Dear Zindagi (Dear, Life) : Jangan Biarkan Masa Lalumu Menghantui Dirimu di Masa Kini


Semalem saya nonton Dear Zindagi. Film keluaran tahun 2016, dibintangi Shahrukh Khan dan Alia Bhatt, bertema mental health. Awalnya nonton karena hati sedang gundah gulana banget. Saya sedang dihadapkan dengan pilihan besar pada karier dimana pada dasarnya bagi sebagian besar orang, apa yang saya dapatkan ini adalah anugerah. Tapi rupanya, bagi saya, dan beberapa temen yang sepemikiran, ada ‘jalan’ yang sangat ingin saya tempuh dan itu adalah seorang penulis.

“Terkadang, kita memilih jalan yang sulit hanya karena kita merasa untuk meraih hal-hal yang penting kita harus mengambil jalan yang sulit itu.

Terkadang kita merasa perlu menghukum diri kita.

Tapi untuk apa?”

Duerrrrrrrrrrrrrr!!!!!!! Rasanya saya kayak disambar petir. Kalimat “tapi untuk apa” itu really hit me hard dan membuat saya bertanya ke diri saya lagi.

“Untuk apa sih tik?”

Dan diri saya pun jawab, “untuk orang tua. Untuk adik-adik. Untuk masa depan mereka yang lebih baik.”

Lalu, Jug bilang lagi di film itu, “Kenapa tidak memilih jalan yang mudah? Apa salahnya? Apalagi kita belum siap memilih jalan yang sulit. Untuk apa mendaki gunung saat kau tidak siap?”

Balik lagi ke dalam diri saya yang paling dalam, saya tanya pada diri saya, “are you ready for this?”

Dan seolah ini adalah sesi konseling saya sendiri, muncul sebuah pemikiran di dalam otak saya yang saya pegang teguh sampai detik ini saya tulis blog ini.

Jadi, intinya Jug bilang “saat kamu tidak siap, kenapa memilih jalan yang sulit.” Itu artinya, saat kamu siap, meski kamu takut untuk memulai tapi kamu tetap melangkah maju, maka kenapa tidak memilih jalan itu? Itu yang namanya berani.

man of honor, he will be remains in our heart

Hal yang sama saya dapatkan dari sebuah buku. Saya adalah penggemar setia Game of Thrones. Saya ingat, Bran pernah tanya ke Ned, bapaknya, begini, “dapatkah seseorang menjadi berani meski ia sedang takut?”

Lalu Ned Stark jawab, “justru itulah satu-satunya saat dimana seseorang dapat disebut berani.”

Saya nggak tau soal kalian yang baca ini, tapi saya masih nangis menuliskannya. Dan mungkin, kalian yang ada di posisi yang sama, merasa hal yang sama juga. Who knows? Yang penting adalah menjadi berani.

“When you’re scared but you still do it anyway, that’s brave.”

So, let’s BE BRAVE.

Well, back to this movie, kalau bisa jemari saya ini mengacungkan jempol sepuluh, saya akan lakukan buat film ini. Selama nonton, saya nggak henti-hentinya nangis. Seolah, Jug (karakter psychologist yang diperankan Shahrukh Khan) sedang ngomong ke saya dari satu sesi ke sesi yang lain. Entah karena cara dia ngomong yang memang terdengar sangat merangkul, entah karena tatapan matanya yang emang teduh banget, atau entah karena seolah saya yang sedang duduk di ruang terapi itu, bukan Kaira (karakter yang diperankan Alia Bhatt).

Sedikit cerita soal kisah di film ini, Kaira merupakan seorang cewek yang emosional dengan amarah meledak-ledak, susah dekat dengan orang, bukan sosok family man, dan gampang bosan. Ya, dia suka tantangan dalam tarik ulur suatu hubungan percintaan, tapi begitu sudah settle down, sudah pacaran, dan si cowok ini ingin lebih dekat mengenal dirinya, Kaira langsung mengakhiri hubungan itu.

Ini pas dia habis putus dengan Sid. Tantrum sekali bund

Parahnya, ketika sudah melakukan suatu hal yang sangat impulsif, misalnya putus tanpa ada angin dan hujan, dia lalu merasa bersalah. Kemudian, rasa itu mengusik siang-malam, membuat dia tidak bisa tidur, hingga nanti di tahap “oke, itu bukan masalah. Semua baik-baik saja” alias tahap masa bodoh. Kaira memang bukan playgirl yang pacaran dengan banyak pria dalam satu waktu, tapi dia memang flirty.

Dalam hubungan keluarga, Kaira tidak betah di rumah. Dalam suatu scene, dia bahkan hanya mampu mengobrol selama 4 menit dengan Ayahnya dan 2 menit dengan Ibunya. Ketika di sekeliling keluarganya, yang harusnya dia merasa aman, nyaman, dan bahagia, Kaira malah merasa ‘asing’. Dia ketus pada orang tuanya, tidak pernah pulang, dan memilih tinggal dengan temannya.

Suatu ketika, hidup Kaira kacau dan dia melihat seminar kesehatan mental tanpa sengaja. Di seminar itu, untuk pertama kalinya di dalam hidup, dia merasa bahwa “tidak apa-apa datang ke terapis”. Tapi sebenarnya saya salfok juga sama Shahrukh Khan di scene ini. Gilaaaaa cuy, udah umur 55 tahun tapi kok masih ganteng, badan masih bagus, aura masih berkharisma. Bener-bener sugar daddy vibe wkwkwkwk. Maafkeun yaaaa, selingan haha.

dr Jehangir Khan ^^

Akhirnya, sesi terapi Kaira dan Jug (dr Jengahir Khan) pun dimulai. Di setiap sesi, Jug mencoba menggali cerita demi cerita dalam hidup Kaira, menemukan apa sih yang ‘rusak’ dari hidup wanita itu, dan bak puzzle, ia pun memasangkannya kembali. Satu demi satu, sesi ke sesi, Jug memberi berbagai saran ke Kaira.

Konseling pertama Kaira dengan Jug

Puncaknya adalah saat Kaira bercerita masalah utama dia. Masalah keluarga. Rupanya, di umur 6 tahun dia ditinggalkan bapak dan ibunya. Dititipkan ke kakek dan neneknya, Kaira kecil setiap minggu menulis surat ke orang tuanya yang ada di luar negeri membangun bisnis. Dan yang bikin saya nangis, waktu Kaira bilang, “tapi semua surat itu berakhir dengan kalimat yang sama. Kapan kalian pulang?”

Begitu pulang, ibunya bawa adik buat Kaira. Cemburu? Jelas. Anak yang tinggal serumah dengan orang tuanya dan punya adik pun pasti ada rasa cemburu begitu adiknya lahir. Apalagi Kaira yang ditinggal sejak kecil. Sayangnya, disitu Kaira tahu kenyataannya. Intinya, ibunya tidak bisa membawa Kaira karena keuangan mereka belum stabil. Dan apa yang Kaira bilang?

“Hidupku menjadi buram. Seolah ada seseorang yang merebut remote TV dariku, mengganti chanel yang kusukai dengan chanel yang mengerikan, dan membuang remote itu.”

Lalu, apa jawaban Jug?

“Untuk merasa aman, rasa takut harus hilang. Takut dibuang. Takut sendirian. Kau sudah membawa rasa takut ini sepanjang hidupmu. Beban ini berakibat pada hubunganmu, terutama asmaramu. Jadi, kau tinggalkan orang lain sebelum mereka meninggalkanmu. Kau ingin bilang ‘bye’ sebelum mereka bilang ‘bye’. Karena kau tak mau hadapi kepedihan itu lagi.”

Di dalam hati, pas airmata saya ngucur deras dengar ini, saya teriak, “astagaaaaaaaa ini gue banget huhuhu. Kenapa sih kalian nggak sadar kalau gue kayak gini? Kalian Cuma berusaha mendekati gue, tanpa kalian tau gue punya masalah begini. Brengsek.

Kemudian, Jug bilang lagi, “Jadi, Kaira... kenapa tak kau tinggalkan saja ketakutan ini untuk selamanya? Kenapa tak kau sapa hidup sekali lagi? Jangan biarkan masa lalumu menghantui dirimu di masa kini dan menghancurkan masa depanmu yang indah.”

Dan sekali lagi... itu bener-bener ngena banget ke kamu-kamu yang akan nonton ini. Rasanya tuh kayak kamu guys yang konseling disana, bukan Kaira. Apalagi saat Jug ngomong begitu.

Saya pernah cerita saya mengalami bullying saat sekolah dasar. And it affected me until now. Saya nggak mau gabung dengan banyak orang, misal kayak arisan, acara pemuda-pemuda di lingkungan, organisasi, atau bahkan terakhir yang paling parah, saya sampai resign dari kerja di bank karena saya nggak bisa menghadapi banyak orang yang seolah kastanya ada di atas saya. Padahal itu Cuma anggapan saya. Mereka biasa-biasa aja. Baik-baik semua. Saya ingat banyak rekan kerja yang menyemangati waktu itu. Mbak Novita salah satunya. Dia sampai nangis cerita ke saya soal hidupnya.

Dia bilang, “kenapa kita semua bilang ini ke kamu? Karena kita care sama kamu mbak.”

And i know, mereka memang care. Tapi anehnya hati saya nolak. Saya nggak bisa menerima uluran tangan mereka. Saya lebih merasa aman di dalam kamar saya. Dan melalui film ini, seolah Jug bilang ke saya, “kamu sudah tidak dibully. Teman-temanmu sekarang sudah sangat menyayangimu. Teman-temanmu sekarang bukan teman-temanmu di SD dulu. Jadi, kenapa kamu masih takut dengan orang? Kenapa kamu takut dipandang aneh? Let it go.”

Sampai saya habis tisu banyak waktu Jug ngomong ini. Tapi kayaknya teori ini berlaku buat kamu yang punya mental illness aja. Kalau kamu fine tanpa ada yang rusak di otakmu, rasanya kamu juga akan biasa aja menanggapi omongan Jug.

Terakhir, ada satu lagi pesan dari dr Jengahir Khan yang wajib untuk kamu semua resapi.

“Ketika kita sakit badan, kita merasa sangat bangga dan percaya diri saat pergi ke dokter. Tapi ketika yang sakit adalah otak kita, seolah-olah semua orang menyuruh kita diam. Bahkan, keluarga kita sendiri pun akan lebih memilih diam. Lucu, seolah otak bukan bagian dari badan kita.”

 

Tambahan :

Sesi terakhir konsul Kaira dengan Jug, baperrrrrrrrrr

Saya sedikit baper dan berharap di endingnya Jug menerima cinta Kaira. Manis banget sumpah, sewaktu Kaira mengutarakan cintanya dan Jug senyum sambil bilang “iya, lanjut aja. Aku dengar kok”, aduhhhhh mak... Shahrukh Khan emang terdabest.

Jadi, alasan kenapa Jug pakai tetes mata pas ini mungkin karena dia jg nangis dan biar ga ketahuan aja (T.T)

Sayangnya, seorang psychologist harus patuh pada kode etik. Jadi, wajar memang pasien akan merasa keterikatan yang sangat kuat dengan terapisnya saat sesi berakhir. It’s normal. Tapi sebagai seorang yang profesional, terapis tidak boleh melangkah keluar dari hubungan dokter – pasien. Bahkan, bertemu di luar sesi pun tidak boleh. Jadi, Jug cuma jawab, "bagaimanapun juga, aku terapismu, Kaira."

Pelukan perpisahannya itu loh guysssss, baperrrrrrrrr

Jadi, hubungan Jug dan Kaira berhenti ketika sesi konsultasi itu selesai, ketika Kaira menjabat tangan Jug, dan ketika Kaira yang sudah sampai pintu kembali lagi demi memberi Jug pelukan pertama dan terakhir. Memang filmnya sih mengambil konsep open ending, tapi yang paling bikin saya bahagia walau Jug dan Kaira belum bersama adalah ketika Kaira keluar dari ruangan konselingnya, Jug duduk di kursi spesial di ruangan itu dan terkejut. Pasalnya, kursi yang biasanya tidak berbunyi ketika ia duduki itu menjadi berbunyi. Dan bagi kalian yang nonton film ini, pasti tahu apa arti dari bunyinya kursi Jug.

Di beberapa sesi terakhir, Jug udah mulai menghilang. Curiganya... dia lagi menata hati

Ini sewaktu Jug kembali muncul setelah menghilang beberapa minggu. Sedikit menghindar dari Kaira huhu

Dan ini pas kursi cinta itu bunyi. Juuuug, don't let her goooo

“Kaira, kursi itu akan berbunyi ketika kau sedang merasakan jatuh cinta.”

Dan kalau kursi itu bunyi, berartiiiiii.... adu du duduuuu, i hope they will meet again someday. Apa sih, padahal Cuma film hahaha. Bapernya sampai kebawa sini. Tapi cocok siiiiiih... gimana atuh. Padahal Shahrukh Khan aslinya umur 55 tahun, ehhhh si Alia Bhatt umur 27 tahun. Beda 28 taon, tapi masih aja cocok. Momen-momen mereka berdua itu romantis tapi ga cheesy. Cool. Terbaik. Kaaaan... baper lagi. Bener-bener sugar daddy rasa boyfriend wkwk.

Btw, mo kasih momen-momen uwu Kaira-Jug duluuu. Biar sama-sama ngeship.

Ini si Kaira nanti jatuh malah sama Jug diketawain wkwk

Tatapannya sumpah... mata coklatnya itu looo hmmmm

Sesi konseling di luar, tapi Jug disini cerita soal perceraian dia

Gemayyyyyyyyy

Kaira berhasil cerita problem terberat dia ke Jug, and look how sweet he is





Sekian review kali ini. Sekali lagi guys.... it’s okay not to be okay. Semangat untuk kalian para penyintas mental illness. God bless you all.

God, he aged like fine wine. Georgeous.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Tes Kerja di VADS Jogjakarta

Pengalaman Tes Kerja : Rekrutmen Karyawan PLN Tahap 1 (Administrasi) Sampai Tahap 4 (Psikotest)

Pengalaman Test Wawancara Kerja di Bank BTN Kediri