Review Film Oppenheimer : Kontroversi Representasi dari Ayat Bhagavad Gita

Saya nggak ngeblog berapa lama sih? Setahun? Dua tahun? Kayaknya sudah sewindu aja, mengingat rupanya hidup saya terasa monoton. Saya jarang ngeblog karena sibuk dengan kerja di dunia nyata. Tapi rupanya, mendapat kerjaan tuh ga selamanya bikin bahagia. Bikin kenyang itu udah jelas. Tapi bahagia? Kayaknya kebahagiaan saya beda. Saya bisa blogging, bisa nulis artikel buat cari cuan, saya ngedrakor… itu adalah standar bahagia untuk saya.

Bahagia saya = hidup santai 😋

Anyway, saya mau berbagi review film yang sedang hype dan baru saja saya tonton seminggu yang lalu. Judulnya Oppenheimer. Sewaktu promo awal keluar, saya yang emang pada dasarnya penggemar film-film berat kayak gini jelas excited. Dan rupanya, lebih tertarik lagi sewaktu jajaran pemerannya ada Cillian Murphy (semua orang harus tau kalau saya ISTRINYA THOMAS SHELBY, masih inget kan dialog dia yang “you belongs to me, my property. No one touches my property” 😝), ada juga Bapak Iron Man, ada juga Yelena, lalu juga ada Emily Charlton si paling IT Girl. Semua favorit saya ngumpul jadi satu. Of course harus nonton!

Ya Allah, mau property kek, mau arca kek, kalau jadi miliknya Tom mah aman saya jabanin semua wkwk

Sebelum nonton, jelas saya belajar kilat tentang filmnya. Biar ga ngang ngeng ngong waktu di dalam bioskop. Kalau kata netijen yang budiman sih, film ini lebih kayak kuliah Fisika, Kimia, Astronomi, dan macem-macem ilmu yang ngumpul 100 SKS dijadikan satu. Semengerikan itu kah?

Saya sebelum kuliah 100 SKS 😇

Dan ternyata begitu mulai, emang filmnya ngeri😂. Otak saya ga bisa nerima alias ngang ngeng ngong. Membosankan? Sedikit. Saya ga paham sama teori-teori yang mereka bicarain. Bikin penasaran? Banget. Apalagi teori mekanika kuantum yang udah sejak lama saya tertarik buat belajar. Saya adalah penganut orang-orang yang percaya bahwa dunia ini parallel. Bahwa di suatu tempat, hidup saya yang lain dengan kisah hidup yang beda dari keputusan di dunia ini yang saya buat. Kalau kata teori ini, setiap kemungkinan menghasilkan diversity yang lain sehingga kalau digambarkan, hidup kita di alam semesta ini ibarat akar serabut yang memiliki banyak cabang yang mana mengarah ke berbagai macam dunia.

Rewatch? I will laaaaah. Jelas akan saya rewatch berkali-kali. Selain bagus, juga biar paham. Tapi buat yang ga suka mikir, mending milih film Barbie. Soalnya, film ini selain bikin kita harus mikir jalan cerita, kita juga harus mikir relate apa enggak sama sejarah. Kita juga wajib mikir juga alur yang dipake tuh yang mana. Soalnya alurnya maju mundur ga ketebak. Cuma dibedain dari warna hitam putih. Juga POV yang dipake beda-beda. Intinya, filmnya ga recommended buat kaum yang lebih suka film ringan.

Ceritanya tentu aja berpusat ke kehidupan Dr. Oppenheimer. Mulai dari masa kuliah beliau yang saking sebelnya ma dosennya nih, dia nyuntikin Potasium ke Apel yang ada di meja dosennya, terus pagi sebelum kelas dia rela lari dari asrama Cuma buat buang apel itu sebelum dimakan dan jadi tersangka pembuhan wkwk. Bengek. Boleh dipraktekin ga sih ini caranya ke atasan? Hahaha. Film juga berpusat ke kehidupan Oppenheimer semasa jadi dosen. Banyak nama-nama besar disebut selama masa muda Oppenheimer ini. Mulai dari Strauss, Heisenberg, sampai Albert Einstein. Hitler juga.

Kebayang ga sih kita hidup di masa nama-nama yang sekarang abadi di buku pelajaran? Rupanya, Indonesia dan Amerika sejak dulu udah beda kelas sih. Wajar sekarang kita juga beda strata kehidupan. Di jaman segitu, dimana Indonesia masih mikir gimana caranya buat lepas dari penjajah, anak-anak muda Amerika udah jadi penemu Bom Atom.

Bagian paling seru jelas ada di perjuangan tim Oppenheimer buat uji coba. Gimana semangatnya mereka buat nulis rumus sampai 2 papan tulis (merindinggggg keinget Bu Sofia Guru Matik SMA), gimana semangatnya mereka buat praktek, juga gimana mikirnya mereka ama teori-teori yang di jaman sekarang nih bikin kita pusing di kelas. Really, God bless them all. Kayak otak-otak cerdas tuh udah diborong orang-orang jaman dulu ga sih? Dan kita Cuma kebagian ampas. Bayangin aja lah. Di zaman segitu dimana teknologi dibanding sekarang sangat-sangat minim, mereka bisa nyiptain bom yang ga menelan ratusan korban, tapi ratusan ribu jiwa manusia ga berdosa.

Wajar setelah itu, mereka depresi semua. Denger dimana saya lupa, tapi pernah ada yang bilang bahwa pengetahuan berbanding terbalik dengan moral. Atas dasar pengetahuan, atas dasar penemuan, kita bisa nyiptain bom atom, bom biologis, atau bom-bom mengerikan lainnya. tapi atas dasar moral, seharusnya bom-bom kayak gitu emang ga pernah ditemuin sih. Tapi kalau kata film ini, “manusia itu sifatnya merusak. Kita menciptakan alat membunuh yang besar, tapi tunggu sampai nanti ada yang menciptakan lebih besar lagi”.

Jadi bener kan alasan malaikat protes dan demo ke Tuhan kenapa manusia yang jadi Khalifah di muka Bumi ini? Tapi once again, jawaban Tuhan adalah “Aku –TuhanMu- yang Maha Mengetahui”. Curiga sih dunia ini semacam kayak tempat kita simulasi. Ga peduli lah saya sama kisah asmara Oppenheimer yang juga diceritain disini. Kisah dia yang udah nikah tapi rupanya masih belum bisa move on sama mantan FWB. Ga peduli juga saya sama betapa Baby Blues nya Kitty sewaktu punya newborn baby. Bagi saya, itu hidup pribadi sang penemu. Bukan buat bahan penilaian. Selayaknya Soekarno yang menjadi Bapak Proklamator, tapi di sisi lain dia juga seorang womanizer, Oppenheimer pun sama. Dia penemu hebat, tapi kalau soal asmara, bukan panutan hehehe.

Saya pas lagi pusing cenut-cenut ga paham mata kuliahnya 😭

Pas nonton film ini, saya jadi mikir… orang yang bervalue, orang yang punya keahlian, dia ga perlu bingung nyari kerjaan. Justru kesempatan sendiri yang akan datang ke dia. Oppenheimer bahkan bisa minta dibangunkan kota hanya agar dia mau jadi kepala proyek. Bayangin. Negara membangunkan kamu sebuah kota di tengah gurun Cuma agar kamu dan timmu masih bisa work life balance.

Tapi rupanya, menjadi dewasa adalah kamu tidak bisa membenci Lewis Strauss hanya karena dia menjebak Oppenheimer. Menjadi dewasa adalah kamu mengerti alasan kenapa Strauss sebegitu bencinya dengan Oppenheimer. Seperti yang Kitty bilang, “orang yang pendendam adalah orang yang paling berbahaya”. Lewis Strauss rela nunggu bertahun-tahun agar dia bisa menyaksikan kejatuhan Oppenheimer yang sudah mempermalukannya di depan umum. So the moral lesson is be carefull of what you said. Beneran. Lidah emang lebih tajam dari pedang. Nancepnya juga lebih sakit di hati. Heran. Padahal Cuma perkataan kan, tapi kalau diinget, sampai sekarang pun ada beberapa ucapan yang juga belum bisa saya lupain juga. Untung saya ga sepinter Strauss, jadi ga ada kesempatan buat balas dendam hehehe.

Anti klimaks dari film ini jelas adalah perasaan bersalah yang sang penemu rasakan. Oppenheimer bilang, beberapa orang bisa tertawa, beberapa menangis, yang lainnya memilih diam, tapi dia yang jadi algojo kematian. Kata yang Oppenheimer ucapkan ini, ditambah airmata yang dia usap, udah shahih menggambarkan betapa menyesalnya dia telah menciptakan bom itu. Saya kalau jadi Oppenheimer juga kayaknya ga bisa tidur sejak malam dimana Nagasaki dan Hiroshima rata tanah. Setiap berjalan, seolah merasa berjalan di atas lautan mayat yang hangus terbakar. Setiap menghirup nafas, seolah merasa bau gosong daging-daging manusia yang terpanggang. Setiap memandang, seolah melihat kobaran api yang membumbung jauh ke angkasa. Ga heran… disebut pengecut dengan Presiden Truman pun, Oppenheimer tetep kekeh nolak untuk membuat bom kedua kalinya lagi. Dia seperti Prometheus, mencuri api Dewa Zeus dan memberikannya kepada manusia untuk menjadi kehancuran manusia itu sendiri. Sementara itu, kala dunia tengah hancur, Prometheus dihukum selamanya oleh Para Dewa, selayaknya rasa bersalah Oppenheimer yang kayaknya sih dibawa sampai liang lahat. Udah pasti.

Terakhir, dari semua quote di film ini, yang paling saya suka adalah ayat Bhagavad Gita yang dikutip Oppenheimer dalam menggambarkan kehidupannya.

Now I Am Become Death, the Destroyer of the World”.

Anjir ganteng juga 😍


Ponorogo, 28 Juli 2023.

Komentar

  1. Makasih tik ,review yg jelas dan lugas, semangat terus.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Tes Kerja di VADS Jogjakarta

Pengalaman Tes Kerja : Rekrutmen Karyawan PLN Tahap 1 (Administrasi) Sampai Tahap 4 (Psikotest)

Pengalaman Test Wawancara Kerja di Bank BTN Kediri