Review Film : Ayat-Ayat Cinta 2
Mengingat
gimana sukses dan epic nya Film pertama, pasti sebagian besar orang akan
berbondong-bondong melihat Film kedua ini. Saya pun begitu. Mengingat AAC 1
dulu saya masih belum bisa menyaksikan di Bioskop (mengingat umur, fasilitas,
dan lainnya), sekarang ini, di umur saya yang udah bebas mau nonton film rate
18+, saya membulatkan tekad nonton AAC 2.
Saya ajak
temen saya dan temen saya ngajak temen sekompinya. Jadinya kita ada 7/8 orang nonton
film ini. Nggak begitu kenal juga hehe. Cuma yang saya sayangkan, kenapa kita
dapet tiketnya di barisan kedua dari depan? Nggak enak banget nontonnya (T.T)
Ndangak so pasti, nggak bisa meresap penuh juga iya, dan pokoknya serba nggak
nyaman lah kalau di depan. Cuma itu tiket kan dibeliin sama kawan-kawan itu, jadi
ya gimana masa mau saya cancel? Haha. Nggak etis sekali. Jadi ya dinikmati saja.
Biar gimanapun, ada temen nontonnya.
Nonton AAC
2 rasanya berbeda sekali dari AAC 1.
Lebih
bagus? Sama sekali tidak.
Standar?
Bisa dibilang begitu.
Dan faktanya, memang banyak yang ‘agak kecewa’ dengan
film ini. Nggak sesuai ekspektasi. Dan mungkin itu dilatarbelakangi beberapa
faktor. Seolah ini adalah film yang berbeda, film yang nggak ada sangkut
pautnya sama sekali dari AAC 1 (I know mungkin juga penulisnya emang mau ini nggak berkaitan, tapi ya nggak segininya lah).
Bisa dari
jalan ceritanya yang emang sebenarnya bagus kalau untuk novel, Cuma
penerjemahannya ke dalam adegan film terkesan maksa. Pengambilan gambarnya saya
akuin bagus. Ada beberapa scene yang reaksi saya semacam “ewww”.
Salah
satunya penggunaan bahasa Indonesia. Jujur, saya terganggu mendengar begitu
banyak tokoh asing bicara bahasa Indonesia di berbagai scene. Seolah settingnya
Indonesia, meski saya tau maksudnya seperti itu adalah untuk mempermudah
penonton saja memahami jalan cerita. Meski saya juga tau nggak mungkin sekali
film berlatar luar negeri, dengan karakter yang full WNA, harus ngomong bahasa
asing sepanjang waktu sampai film habis. But it annoyed me. Kalau mau menelisik
film bersetting luar yang bagus, mungkin bisa menilik ke Surat dari Praha. Bisa
dibandingkan perbedaan pemilihan bahasanya.
Tadi yang
pertama.
Yang kedua
mungkin bisa juga dari pemainnya. Semua orang setuju, tidak ada sosok laki-laki
religius dan pas berakting poligami selain Fedi Nuriil. Karakternya pas sebagai
Fahri.
Sayangnya, semudah itukah melupakan Maria? Sama sekali tidak disebut,
tidak diingat, tidak ada fotonya, bahkan seolah tidak pernah terjadi. Padahal
jika menilik ke sikap Fahri yang Islamic banget itu, harusnya masih mengingat mendiang istri keduanya itu. Saya
protes. Jelas Protes. Maria yang diakhir hidupnya menjadi mualaf, Maria yang di
kematiannya menunggu Fahri untuk bersama, Maria yang pernah diucapkan cinta oleh Fahri sendiri, semudah itu dilupakan.
lupa dia pernah punya istri kayak gini -_- |
Sementara
Aisha alias Sabina, saya juga kecewa. Saya tau dia sudah berjuang begitu keras,
melewati banyak penderitaan untuk mempertahankan harga dirinya, tapi dia tidak
berjuang untuk cintanya (Eciiiehhh). Dia menolak mengungkap identitasnya,
mendukung wanita lain menikah dengan Fahri, tapi begitu mereka sah, dia
menangis, berlari pergi, berontak pada dirinya sendiri. Klise.
Aisha
menggambarkan sosok perempuan yang penuh ketidakpercayaan pada Tuhan serta memandang
rendah dirinya sendiri, juga Fahri. Bukankah bangga bagi seorang wanita
memiliki luka seperti itu demi mempertahankan kehormatannya? Aisha merasa rendah,
merasa kotor untuk menjadi istri Fahri, suami yang mati-matian dibela dan
diperjuangkannya sekuat tenaga dulu saat di penjara Kairo, merasa kalah untuk
bersaing dengan Hulya.
Aisha AAC 1 |
Aisha juga sudah terlalu melekat identik dengan Rianti
Cartwright. Jadi pasti sulit melepas sosok Aisha di AAC 1 dengan Aisha di AAC
2, meskipun saya ngerasa Dewi Sandra udah berusaha niru sosok Aisha yang dulu dengan 'menghaluskan' suara.
Aisha AAC 2, cara matanya berbicara aja udah bedaaa :-( |
Feelsnya pas dia buka cadar pun nggak kerasa itu Aisha, karena bagi saya dia
emang bukan Aisha. Pandangan matanya, caranya bicara, intonasinya, penyikapannya pun udah
beda. Sama sekali nggak seperti Aisha (T.T)
Selain itu pun, Chemistry Aisha dengan Fahri nggak dapet sekali. Ah sedihlah pokoknya.
lebih oke yang ini hehehe |
Untuk
Hulya… jujur, saya masuk tim Hulya ahaha. Saya lebih menyukai Hulya dibanding
si istri pertama. Hulya seperti karakter Aisha di AAC 1, penuh passion,
semangat, lovable, dan mudah untuk dicintai.
Honeymooooon ^^ |
Kalau disuruh milih antara Sabina
atau Hulya, saya akan milih Hulya. Tapi kalau milih antara Aisha AAC 1 dengan
Hulya, tentu saya pilih Aisha. Bagi saya pribadi, ‘persaingan’ antara
Aisha-Maria lebih epic dibanding Aisha-Hulya.
Salah satu
scene favorit saya antara Fahri dengan Hulya itu saat Fahri melamar Hulya. Ke-gentle-an-nya
muncul disini kkekkekke. Serasa Fedi Nuril, bukannya Fahri haha.
Scene yang
membuat tangis saya pecah ya apalagi kalau bukan adegan Hulya persis seperti
Maria. Nyesek.
istri kedua dan calon istri ketiga yang gagal hahaha |
Scene
favorit yang lain, saat Nenek tetangga Fahri (saya lupa namanya), yang beragama
Yahudi, bersumpah dan bersaksi di depan sidang debat membela Fahri, dengan
kalimat (kalau tidak salah) “Demi Musa dan Tuhan Musa…”.
It feels
like… saya merasa bahwa sebenarnya tidak ada agama yang salah, hanya saja
mereka membela apa yang sudah sejak dulu mereka bela, mereka anut, mereka
percaya. Maka benar apa kata Rasulullah, mengajak ke jalan kebenaran itu tidak
bisa dengan kekerasan. Yahudi bersumpah atas nama Musa, sementara Kristiani
bersumpah atas Nama Isa. Tidak ada yang salah, hanya belum ‘tersentuh’ saja.
Overall,
ditonton saja daripada penasaran ^^.
Komentar
Posting Komentar