Review Film: London Love Story 2
Janjian HO jam 2 siang, ngumpul sekitar jam 3 an,
berangkat jam 4 kurang. Very Indonesia (-_-) Dan niatnya loh mau makan, eh
sambil nunggu malah mborong pentol, rujak, es sekalian (zzzzzzzzz) Akhirnya kita HO nonton. Tontonan
wajib dari sekian banyak list film di Cinemaxx jatuh ke London Love Story 2.
Kenapa? simple aja, ada Dimas Anggara dan Bebeb Rizky Nazar disana hehehe ^^
Begitu masuk, kita sempet pesimis nonton kali ini
bakal garing karena:
1. London
Love Story udah punya ending yang lumayan oke dan kenapa mesti ditambahi
keruwetan lagi jadi sekuel? takutnya maksa ceritanya
2. Bioskop
sepiiiii. Tau sendirilah kalau nonton dan sepi itu rasanya agak… kayak orang
hilang
Tapi untungnya hal tadi enggak terjadi *sigh*
Filmnya saya kasih rate
3 dari 5 dan meski sepi, penghuninya combe semua hahaha. Jadi kalau ketawa ya
kayak segedung (yang penuh orang) ketawa semua. Ada celetukan-celetukan nggak guna juga,
yang Gilang inilah, Dave itulah, dan umpatan-umpatan nggak jelas. Saya lebih
suka nonton kalau feelnya kayak gini. Saya nggak suka nonton dan suasananya kayak kuburan.
Lebih prefer ke situasi dimana ada bisik-bisik ghoib yang ngomentari
kejadian-kejadian pas film main. Lebih terasa hidup hehe.
Do
You Miss Me?
Itu kalimat pertama yang ditulis Gilang (Rizky
Nazar) sewaktu ketemu Cara (Michelle Zudith).
Pernah
nggak kamu cinta sama aku walau Cuma dikit?
Itu juga pertanyaan yang diajukan Gilang sewaktu
mereka clear-clear-an masalah berdua.
Ya,
aku pernah cinta kamu, dulu, sebelum aku sama Dave.
Itu… jawaban yang dikasih Cara, sambil nangis-nangis,
mohon-mohon ke Gilang saat dia… ah sudahlah *tears*
Nanti kalian juga akan tau
sendiri apa yang bikin kita bertiga (Ria, Saya, dan Evi) mewek nggak percaya.
Untung Ria bawa tisu, jadi dia bagi-bagi ke kita karena nggak prepare sama
sekali. mungkin ini juga efek dari ost-nya, "cinta dalam hidupku" dari Rossa dan "Setia menunggu" dari Afgan. Terbaik.
tatapannya duilah (T.T) |
Ngeliat hubungan Gilang-Cara itu rasanya nano-nano,
ngenes-ngenes baper dan bikin smile-smile hahaha. Why? Karena, Gilang itu beda
dari Dave. Kalau Dave orangnya lebih kalem, lebih lembut, dan lebih apa ya,
kalo menurut saya sih dia lebih terkesan “nggak mau maksa”. Tapiiii kalau
Gilang… hmmmmmm (^^)
Sewaktu Gilang ngasih ponsel Cara yang ketinggalan,
dan dia megang tangan Cara lebih lama, padahal ada Dave disana, saya Cuma bisa
ngomong kalau Gilang itu gentle. Nggak ada takutnya.
Lalu sewaktu Gilang ngeliat Cara dan Dave berduaan
di tempat ski, dari tatapannya… saya bisa ngerasain kalau Gilang antara
jealousy, kangen, dan sedikit nggak ikhlas. Melted, pasti.
Daaaan dari apapun yang dilakuin Gilang, mulai dari
cara dia geser-geser dikit biar bisa deketan duduk sebelah Caramel, cara dia
nawarin teh ke Caramel (plus senyum jailnya), sampai caranya ngegoda Caramel
dengan insiden telur di depan mata kepala Dave, saya Cuma bisa menyimpulkan
kalau Gilang itu a real mean. Laki sekaliiii hahaha.
Kalau mengingat apa kata Ria (temen saya), “sing
ngene ki sing bahaya. Sing maju terus pantang mundur ngene ki lo” ^^
Nggak peduli ada cowoknya atau enggak, nggak peduli si
cewek udah ngehindar mati-matian, dia tetep maju perang. Wow.
So, bisa diliat dari ulasan ya yang lebih condong ke
Gilang-Cara, disini proporsi cerita mereka yang jadi permasalahan dan hampir
menyita 80% dari durasi. Lumayan lah. kisah hubungan Dave-Cara Cuma jadi
pembuka dan penutup, it means meski selingan tapi tetep jadi lead film. Kalau
untuk cerita mereka, disini lebih ke bagaimana mereka mempertahankan sebuah
hubungan yang rasa percayanya udah hilang.
“pertanyaan
kamu salah, Cara. Harusnya kamu tanya, apa aku masih percaya sama kamu?”
Itu yang diucapkan Dave sewaktu tau hubungan Gilang
dan Cara.
Everything is alright. Mulai dari cerita (walau
agak-agak chessy bahasa sok puitisnya tapi it’s okelah), dari Ost (dua-duanya
bagus), dari sinematografinya (luar negeri gitu, nggak ada yang jelek. Saya
jadi kangen kapan ada film romantis yang latar belakangnya Indonesia saja),
bahkan sampai ke sense of humornya. Ramzi good banget memerankan Sam. Insiden
percintaan antara hp dan toilet masih terlintas di kepala saya, ewwwwh.
“Jomblo
itu nasib, Single itu pilihan. Gue nggak bisa asal comot cewek gitu aja” –Sam-
And that’s very good Quote. Tuh dengerin. Single itu
pilihan, bukannya nggak laku. Jadi kalau seseorang milih jadi single, selama
dia BAHAGIA, why not? Sewaktu mereka-mereka yang agak sensi dengan pilihan single
saya ngetawain hidup saya, saya ngetawain mereka balik.
Terkadang yang orang salah artikan adalah, mereka
mengira diri mereka jatuh cinta padahal enggak. Mereka “maksa” diri mereka
untuk cinta ke orang yang paling deket di sebelah mereka, which is mereka nggak
bakal dapet lagi kalau nggak ambil yang satu ini, which is mereka takut not
being chooser again, jadi sebelum mereka dipilih, mereka yang memilih. Dan ini
bukan persepsi saya sendiri, karena ada salah satu kenalan saya yang ngasih
alasan ini. What a stupid idea.
Tapi untuk mereka-mereka yang udah ditemukan oleh
cinta (bukan mereka yang menemukan cinta), itu bagus. Itu artinya mereka udah
memenuhi kaidah falling love, karena mereka Cuma fall, Not force to fall ^^
Komentar
Posting Komentar